Bagian 7.
Sebab Munculnya Kesyirikan
Penulis rahimahullah berkata, “Kaidah yang kedua; sesungguhnya mereka mengatakan ‘tidaklah kami berdoa kepada mereka -sesembahan selain Allah, pent- dan menujukan keinginan kami kepada mereka kecuali untuk mencari kedekatan diri dan syafa’at’…”
Penjelasan Para Ulama :
Syaikh Shalih alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Kaidah ini memberikan faidah bahwasanya mereka menyembah selain Allah jalla wa ‘ala dengan alasan sebagai perantara, dalam rangka mendekatkan diri -kepada Allah-, atau untuk mendapatkan syafa’at. Maksudnya adalah mereka mengatakan bahwa sesungguhnya sesembahan-sesembahan mereka yang batil itu akan mendekatkan diri mereka kepada Allah, atau bisa mengangkat kebutuhan-kebutuhan mereka kepada Allah, atau mereka mengatakan bahwasanya -sesembahan-sesembahan itu- akan memberikan syafa’at bagi mereka di sisi Allah jalla wa ‘ala.” (lihat Syarh Syaikh alu Syaikh, hal. 12)
Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya orang-orang kafir yang dihalalkan darahnya oleh Allah dan Rasul-Nya, mereka diperangi oleh Rasul ketika mereka beribadah kepada patung, pohon, serta batu-batu. Mereka tidak menyembahnya dengan keyakinan bahwa hal itu bisa mendatangkan manfaat atau mudharat. Bahkan mereka meyakini bahwa yang bisa mendatangkan manfaat dan mudharat adalah Allah ta’ala. Akan tetapi mereka mengatakan bahwa ‘tidaklah kami menujukan keinginan-keinginan kami kepada mereka kecuali dalam rangka mencari kedekatan diri dan syafa’at saja.’.” (lihat Syarh Syaikh ar-Rajihi, hal. 10)
Syaikh ar-Rajihi hafizhahullah menegaskan, “Tidaklah dipersyaratkan syirik itu harus disertai dengan keyakinan dari orang itu bahwa pohon dan batu tersebut bisa mendatangkan manfaat dan mudharat. Bahkan meskipun dia meyakini bahwa benda-benda itu tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudharat maka berdoa/beribadah kepadanya sebagai tandingan bagi Allah itu adalah kesyirikan.” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Syaikh ar-Rajihi, hal. 11)
Tujuan Tidak Menghalalkan Segala Cara :
Dari penjelasan para ulama di atas dapat kita petik pelajaran bahwa niat dan tujuan baik harus dicapai dengan cara dan metode yang baik pula. Tidak boleh niat baik dicapai dengan cara-cara yang tidak benar. Dengan kata lain kita tidak mengenal prinsip tujuan menghalalkan segala cara. Mendapatkan kedekatan diri di sisi Allah dan memperoleh syafa’at adalah perkara yang baik dan terpuji. Akan tetapi untuk mendapatkannya harus dengan cara yang benar.
Contoh penerapan kaidah ‘tujuan menghalalkan segala cara’ adalah apa yang dilakukan oleh para penyeru paham Khawarij di masa kini yang terwakili dengan berbagai aksi teror yang digerakkan oleh ISIS, al-Qaeda, dan gerakan-gerakan lain yang serupa. Mereka ingin menegakkan daulah Islam dan menerapkan syari’at, akan tetapi dengan cara-cara yang justru tidak dibenarkan di dalam Islam. Semacam melakukan pengeboman di tempat-tempat umum, bom bunuh diri, meledakkan fasilitas-fasilitas negara, pembajakan pesawat, memberontak kepada pemerintah negeri-negeri muslim, mengkafirkan semua pemerintah negeri muslim, dsb. Jelas apa yang mereka lakukan ini adalah salah bahkan termasuk dosa besar dan kezaliman yang harus diberantas.
Maka demikian pula halnya orang yang ingin mendapatkan kedekatan diri di sisi Allah dan ingin meraih syafa’at. Cara yang benar untuk mendapatkannya adalah dengan melakukan amal salih dan tidak mencampuri amal itu dengan syirik. Karena orang yang dekat dan mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa. Orang yang akan diberi syafa’at adalah yang beriman dan tidak berbuat syirik. Sehingga melakukan perbuatan syirik dengan niat untuk mencari kedekatan diri di sisi Allah dan untuk mencari syafa’at jelas sebuah kekeliruan. Justru syirik itulah yang membuatnya hina dan dimurkai oleh Allah ta’ala.
Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)
Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka menyangka bahwa mereka telah melakukan kebaikan dengan sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104)
Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka. Dan tiada bagi orang-orang yang zalim itu seorang penolong pun.” (al-Maa-idah : 72)
Doa Termasuk Ibadah :
Dari kaidah di atas kita juga bisa memetik faidah bahwa doa termasuk ibadah. Dan ibadah adalah hak Allah semata. Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain Allah. Barangsiapa menujukan ibadah kepada selain Allah maka dia telah berbuat syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian berdoa/beribadah bersama dengan Allah siapa pun juga.” (al-Jinn : 19)
Dalam risalah Ushul Tsalatsah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menegaskan, “Barangsiapa yang memalingkan salah satu darinya (ibadah) kepada selain Allah maka dia adalah orang yang musyrik dan kafir.” Kemudian beliau menyebutkan dalilnya, yaitu firman Allah (yang artinya), “Barangsiapa menyeru/berdoa bersama dengan Allah sesembahan yang lain yang jelas tiada bukti pembenar atasnya, maka sesungguhnya hisab baginya di sisi Rabbnya, dan sesungguhnya tidak akan beruntung orang-orang kafir itu.” (al-Mu’minun : 117)
Allah dengan tegas melarang perbuatan berdoa kepada selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu berdoa kepada selain Allah sesuatu yang jelas-jelas tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudharat kepadamu. Apabila kamu tetap melakukannya maka sesungguhnya kamu benar-benar termasuk orang-orang yang zalim.” (Yunus : 106)
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa doa termasuk ibadah adalah firman Allah (yang artinya), “Dan Rabb kalian berkata; Berdoalah kalian kepada-Ku pasti akan Aku kabulkan, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku maka mereka akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (Ghafir : 60). Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa doa adalah ibadah. Karena Allah menyebut orang yang tidak mau berdoa sebagai orang yang tidak mau beribadah kepada-Nya (lihat Syarh Ushul Tsalatsah Ibnu ‘Utsaimin, hal. 56)
Dalam hadits yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa itulah ibadah.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Bukhari dalam Adabul Mufrad, Abu Dawud, Tirmidzi dan beliau berkata bahwa hadits ini hasan sahih, Nasa’i dalam al-Kubra, Ibnu Majah, Ibnu Hiban, al-Hakim dan dia mengatakan bahwa sanadnya sahih, al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, ath-Thabrani dalam Mu’jam Shaghir dan al-Qudha’i (lihat tahqiq kitab Syarh Ushul Tsalatsah karya Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi, hal. 45-46)
Alasan Mereka Untuk Mencari Kedekatan Diri
Penulis -semoga Allah merahmatinya- mengatakan, “..Maka dalil -bahwa mereka menginginkan- kedekatan diri -di sisi Allah- adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang menjadikan selain-Nya sebagai wali/penolong. Mereka beralasan bahwa ‘Tidaklah kami beribadah kepada mereka melainkan supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya’. Sesungguhnya Allah pasti akan memutuskan diantara mereka atas apa-apa yang mereka perselisihkan itu. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang pendusta lagi ingkar/kafir.” (az-Zumar : 3)…” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Ibnu Baz, hal. 14)
Penjelasan Para Ulama :
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menjelaskan, “Maknanya adalah bahwa mereka tidaklah beribadah kepada nabi-nabi dan orang-orang salih kecuali supaya mereka itu mendekatkan dirinya kepada Allah sedekat-dekatnya.” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Ibnu Baz, hal. 16)
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Allah telah menyebut mereka di dalam ayat ini dengan sebutan para pendusta dan kafir. Maka ini menunjukkan bahwa ibadah yang mereka lakukan kepada seembahan-sesembahan itu dengan alasan untuk mencari kedekatan diri adalah suatu kekafiran dan kemurtadan, meskipun mereka tidak mengatakan bahwa sesembahan-sesembahan itu bisa mencipta dan memberikan rizki…” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Ibnu Baz, hal. 16)
Bahkan, Syaikh Ibnu Baz rahimahullah juga menegaskan, “Bahkan seperti inilah bentuk kekafiran yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terdahulu. Oleh sebab itulah Allah menyebut mereka sebagai pendusta dan kafir. Karena telah berdusta dengan ucapan mereka ‘bahwa mereka/sesembahan itu bisa mendekatkan diri kami kepada Allah’, dan mereka juga menjadi kafir akibat melakukan perbuatan ini.” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Ibnu Baz, hal. 16)
Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Inilah bentuk syirik yang terjadi pada Kaum Nuh dan orang-orang yang datang sesudah mereka.” (lihat Syarh Syaikh as-Suhaimi, hal. 11)
Kejadian semacam ini pun banyak menimpa pengikut tarekat sufi. Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Sebagian thaghut pemilik tarekat menanamkan di dalam benak pikiran pengikut-pengikutnya bahwa barangsiapa yang tidak memiliki Syaikh/guru yang menjadi perantara antara dirinya dengan Allah maka amalnya tidak akan sampai kepada Allah. Mereka juga mengatakan ‘barangsiapa yang tidak punya Syaikh/guru tarekat maka gurunya adalah setan’. Maka kita katakan kepadanya ‘barangsiapa yang mengangkat Syaikh lalu dia menujukan ibadah kepadanya sehingga menjadi sekutu/tandingan bagi Allah, dia menjadikannya sebagai perantara -antara dirinya dengan Allah-, dia meminta diberi syafa’at dengan perantaranya, bernazar kepadanya atau menyembelih untuk dipersembahkan kepadanya, maka orang seperti inilah yang gurunya adalah setan.” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ oleh Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi, hal. 11)